Senin, 22 Agustus 2011

Peranan Buletin Jum’at "Qum" Terhadap Pendidikan Ukhuwah Kebangsaan.


 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

       Dalam ediologi Islam Ukhuwah merupakan ciri utama dalam kepribadian seseorang atau kelompok muslim, bertujuan menciptakan kesatuan bangsa dan solidaritas sesama muslim, memperkokoh persaudaraan antara sesama, dan menghidupkan kasih sayang sesama individu dan masyarakat. Islam hadir sebagai agama sosial yang mengajarkan kesalehan individu dan sosial, menjauhkan ummat dari perpecahan, kedengkian dan bentrokan berdarah. Pertarungan serta permusuhan antara sesama merupakan sifat perpecahan, maka adalah suatu kewajiban bagi penerus untuk membangkitkan rasa persatuan dan persaudaraan.[1]
Dalam sejarah Islam, ketika Rasulullah SAW., berhijrah dari Mekkah ke Madinah, hal pertama yang dicanangkan oleh Rasulullah SAW adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar dalam ikatan keyakinan, hingga dikenal dengan Yaum Al Ikha” (hari persaudaraan). Dengan cara ini hilanglah sekat-sekat yang seringkali menimbulkan konflik di tengah masyarakat  yaitu istilah pribumi dan pendatang. Mereka kini disatukan oleh satu kata “saudara”. Begitu eratnya persaudaraan mereka, hingga salah seorang penduduk Madinah asli, Sa’ad ibn Rabi’ al Anshari berkata kepada saudara baru mereka dari Mekkah, Abdurahman bin Auf:  
“Hai saudaraku, Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta. Harta itu akan aku bagi dua, setengah untuk anda setengah untuk saya. Aku juga mempunyai dua orang istri lihatlah mana yang anda pandang paling menarik. Sebutlah namanya, dia akan segera saya cerai. Setelah habis masa Iddahnya anda aku persilahkan menikahinya.:” Abdurahman menjawab, “semoga Allah memberkati keluarga dan kekayaan anda. Tunjukkan saja kepada saya dimanakah letak pasar kota kalian”.[2]
  Al Qur’an menceritakan jalinan cinta kasih itu dengan ungkapannya  
Artinya : Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.
Salah satu langkah Nabi Muhammad SAW untuk membangun hubungan beberapa kelompok atau suku dalam masyarakat Madinah adalah menempatkan dirinya sebagai pemimpin di tengah-tengah berbagai suku yang mengakuinya sebagai pemimpin. Islam dibumikan dan dijadikan satu kesatuan agama dan politik. Ia berhasil menciptakan sebuah bangsa di bawah satu naungan kepemimpinan, sebagai suatu perwujudan dari gagasan besar, berupa prinsip kehidupan nasional di Arab. Ia mampu menjadikan Islam sebagai agama yang menghasilkan rekonsiliasi.[4]
Permusuhan antara kabilah Aus dan Khazraj yang tak pernah padam sejak ratusan tahun, tiba-tiba asapnya pun tak lagi nampak karena seketika berubah sinar yang menerangi semua. Suatu ketika ada orang yang tidak senang menyaksikan Aus dan Khajraj bersatu dan hidup dalam kerukunan. Lalu orang tersebut mencoba mengungkit-unkit luka lama  ketika mereka masih saling berseteru. Kedua kelompok itu terpancing dan teringat akan berbagai peristiwa yang pernah terjadi hingga perang saudara hampir meledak kembali.
Adalah sebuah realitas bahwa negeri Madinah ketika itu dihuni oleh berbagai kelompok manusia yang beragam suku bangsa, ras dan keyakinan. Di sana hidup para penganut Yahudi, Nasrani dan kaum Musyrikin ditambah kaum Muslimin yang merupakan generasi terbaru ketika itu. Menghadapi keragaman ini Rasulullah SAW,. memandang perlu ada satu ikatan yang dapat menjadikan Madinah sebuah negara berdaulat dan berwibawa. Oleh karena itu beliau mengundang para pemimpin suku dan Agama untuk membuat peraturan bersama. Hasil dari kesepakatan itulah yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.
Ediologi Islam tumbuh di dunia sekarang karena memberikan pemecahan, bagaimana meningkatkan harkat dan martabat ummat manusia dan meningkatkan kualitas hidup dengan makmur, sejahtera dan damai di atas pondasi persatuan dan persaudaraan antara sesama dalam satu bangsa. Realita yang ada menunjukkan bahwa kejayaan Islam dan keberhasilan dalam membangun masyarakat dan budaya, selalu saja hampir dimulai dengan pembaharuan baru yang di susul oleh rasa persaudaraan yang kuat untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Perjuangan bangsa Indonesia sampai saat ini memakai simbol Islam yang memberikan gambaran tentang ediologi Islam. Dimana simbol itu satu yakni Islam, meskipun maknanya bermacam-macam dan pengertian juga beragam.[5]  
Republik Indonesia merupakan negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Musibah terbesar yang tengah menimpa kaum ini adalah rusaknya Ukhuwah Islamiyah yang diakibatkan oleh munculnya berbagai macam gerakan dan aliran serta campur tangannya orang-orang awwam dalam persoalan keagamaan. Akibat dari keteledoran ini telah jelas. Hubungan sesama muslim rapuh dan mengakibatkan mereka selalu kalah dan dikalahkan dalam berbagai lini kehidupan. Kini dunia ekonomi, politik, informasi dan teknologi berada di tangan selain muslim.
Jalan terbaik menuju tegaknya Ukhuwah Islamiyah di Nusantara ini dengan tiga cara. Cara pertama, dengan meyakini bahwa keislaman yang mereka anut dan madzhab yang mereka ikuti saat ini adalah benar sehingga tidak membutuhkan lagi kehadiran madzhab-madzhab di luar yang ada. Cara kedua, setiap pengikut Organisasi yang “terlanjur” ada harus menyadari bahwa perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Karenanya sikap saling menghargai harus dikedepankan. Rasa benar sendiri dan menisbatkan kesalahan kepada pihak lain telah terbukti ampuh dipergunakan syetan untuk merusak tali persaudaraan. Cara ketiga, hendaknya kaum Muslimin memiliki agenda bersama yang dapat memberikan manfaat khusunya bagi sesama Muslim dan umumnya kepada Ummat manusia sebagai perwujudan dari Rahmatan Lil ‘alamin. Bagian ketiga ini tidak akan tercapai kecuali apabila mereka tidak memiliki pemimpin tunggal yang menyatukan berbagai kelompok yang ada. Ummat Islam memang memiliki banyak tokoh, tetapi bukan tokoh Islam melainkan tokoh Organisasi Masyarakat (ORMAS).
Selanjutnya  sebagai  bagian  integral dari sebuah  bangsa, kaum Muslimin pun harus menyadari  keaneka ragaman yang menjadi bahan baku  Indonesia. Keragaman suku, bangsa, bahasa dan Agama bukanlah penghalang bagi terjalinnya ikatan persaudaraan manusia dalam satu negara. Masing-masing pemeluk agama dapat menjalankan agamanya, namun di saat yang  sama, mereka pun memiliki kewajiban saling melindungi saudara sebangsanya demi terciptanya kesejahteraan bagi semua. .
Kaum Muslimin jangan pernah merusak ukhuwah sesama mereka, jangan pula mengkhianati kesepakatan yang telah dibuat bersama seluruh komponen bangsa dalam segala keragamannya. Tetapi bila suatu ketika penganut agama lain melanggar kesepakatan, maka negara pun berkewajiban memberikan sanksi kepada para pelakunya dengan pertimbangan demi menjaga stabilitas serta menyelamatkan persatuan dan kesatuan.
Pada zaman Rasulullah SAW,. dan para sahabatnya menyampaikan dakwah melalui tulisan sudah mulai dirintis. Ketika itu salah satu cara untuk menyampaikan konsep dakwah Islam yang diterapkan oleh Rasulullah SAW,. dan para sahabatnya adalah dengan tulisan. Rasulullah berkoresponden pada penguasa-penguasa dibelahan bumi,[6] dan tardisi para sahabat menuliskan apa-apa yang bersumber dari Rasulullah yang dikenal dengan As sunnah.[7]
Seiring dengan maju dan pesatnya arus informasi, sekian banyak komunikasi diantaranya media cetak makin efektif untuk menyampaikan misi dakwah dan misi pendidikan Islam. Media ini dapat menyampaikan persatuan dan kesatuan ummat dalam satu bangsa yang beraneka macam ras, suku, agama dan perbedaan pemahaman yang berkaitan tentang agama dan kepercayaan.
Buletin “Qum” merupakan bagian dari bentuk media cetak yang terbit sejak tahun 1998. Buletin ini sengaja dibuat untuk menambah wawasan keislaman. Model penulisannya menampilkan konsep-konsep ukhuwah dalam bingkai kebangsaan yang disampaikan kepada masyarakat luas khususnya ummat Islam sendiri. Pesan-pesan ukhuwah ini, disamping tertuang dalam bentuk tulisan-tulisan, penulisnya juga menyampaikan lewat khutbah jum’at, ceramah, diskusi, seminar dan pidato. Dari segi ekonomis harganyapun dapat dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat.
Buletin Jum’at “Qum” tampil untuk memberikan peran ukhuwah dalam bangsa Indonesia yang heterogen ini, dimana banyak terjadi perpecahan antara ummat karena ada sebagian tulisan-tulisan yang seakan akan menyalahkan amaliah kaum Muslimin Indonesia selama ini.
Selanjutnya yang menarik dalam buletin Jum’at “Qum” ini adalah di samping menampilkan tentang keislaman dan hal-hal yang aktual, buletin Jum’at “Qum” ini juga mengajak seluruh komponen bangsa agar tetap bersatu di atas perbedaan. Walaupun terjadi perbedaan pandangan dalam hal yang sifatnya khilafiyah, tetap memberikan ruang kepada saudaranya yang lain untuk mengamalkan yang diyakininya. Yang terpenting adalah menjaga ukhuwah dalam bingkai kebangsaan. Pemahaman seperti inilah yang terdapat dalam Buletin Jum’at “Qum” yang akan di bahas dalam skripsi ini. Banyak Buletin Jum’at yang muncul disana sini tapi munculnya buletin-buletin itu mengatasnamakan organisasi-organisasi tertentu sehingga tulisan-tulisan yang dimuat didalamnya juga selalu saja mengklaim pemahaman dan organisasinya dan menyalahkan amaliah orang Islam yang tidak sepaham dengannya.
Konsepsi Islam tentang persatuan perlu terus ditanamkan dalam dada setiap anak bangsa, guna mengembangkan rasa cinta kebangsaan yang tinggi, demi terciptanya tatanan kehidupan tertib damai dan tentram diatas perbedaan.
Berdasarkan gambaran diatas penulis membuat judul : Peranan  Buletin Jum’at "Qum" Terhadap Pendidikan Ukhuwah Kebangsaan.


[1] Yusuf Qordhowi, Kerangka Idiologi Islam, (Bandung: Risalah,1985), h.149
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Muhammad SAW The Super Leader Super Manager, (Jakarta: ProLM Center, 2007), h. 13
[3] Q.S. Al Hasyr.ayat 9
[4] Hasan Basri dan Thalhas, Aktualisasti Pesan Al Qur’an dalam Bernegara, (Jakarta: Ihsan, 2003), cet. Ke-1, h. 28
[5]  Muhammad Thalhah Hasan, Islam dalam Perspektif  Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora, 2005), cet. Ke-3,h. 6-7
[6]  Ali Mustofa Ya’qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), Cet. Ke – 1, h. 181 - 182
[7]  Asep Syamsul Muhammad Ramli, Jurnalistik Praktis, ( Bandung : PT Remaji Rosda Karya, 1999), Cet. Ke – 1, h. 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar