Selasa, 30 Agustus 2011

SATU SYAWAL PADA HARI RABU



Idhul Fitri dan Lebaran tahun ini, tahun 2011 terjadi perbedaan penetapan tanggal oleh para Ulama, ada diantara ulama dan ORMASNYA menetapkan satu Syawal pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011, dan juga mayoritas Ulama dan Mayoritas ORMAS menetapkan beserta pemerintah menetapkan satu Syawal tepat pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011. Saya pribadi lebih mengikuti pendapatnya para Ulama yang menetapkan satu Syawal pada hari Rabu, sebab Ulama yang ngumpul sangat banyak dan analisanya pun bisa diterima secara rasional dan secara dalil Naqli. Di bawah ini saya mengangkat sebuah kajian yang di tulis oleh seorang Kiyai yang bernama KH Syarif Rahmat. Mari kita lihat argumentasi beliau yang menjadi landasan para ulama yang menetapkan satu syawal pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011. Allah SWT berfirman sebagai berikut:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة:185)

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu yang  menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...” (Al Baqarah:185)


Para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan Awwal ramadhan dan Idul Fitri. Empat Ulama Mujtahid (Al Imam Abu Hanifah, Al Imam malik, Al Imam Asy Syafi’I dan Al Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahumullah) sepakat bahwa penetapan keduanya berdasarkan Ru’yat atau Ru’yatul Hilal. Pijakan mereka jelas yaitu sabda Rasulullah SAW:


الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ. (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: “Pada dasarnya bulan itu berusia 29 malam (hari). Oleh karena itu janganlah kalian memulai puasa sebelum ru’yat (melihat) bulan itu. Tetapi jika berawan (hingga kamu tidak dapat meru’yatnya), sempurnakanlah hitungannya 30 hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Abu Dawud meriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه ابو داود)

Artinya: Aisyah berkata: “Rasulullah SAW itu memperhatikan bulan Sya’ban melebihi bulan bulan lainnya, kemudian beliau berpuasa Ramadhan bila telah melihatnya namun bla berawan beliau menyempurnakan bulan Sya’bannya 30 hari, setelah itu baru (esoknya) berpuasa” (HR Abu Dawud).

Dari Hadis Hadis ini jelas bahwa penetapan Puasa dan lebaran itu didasarkan atas Ru’yatul Hilal. Manakala Ru’yat tidak dapat dilakukan karena terhalang awan, jalan keluarnya pun jelas; sempurnakan saja bulan Sya’ban (atau Ramadhan) 30 hari.  


Akan tetapi sekelompok orang seperti Muhammadiyah menetapkan keduanya menggunakan Hisab. Dalil mereka adalah Hadis:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: Ibnu Umar menceritakan bahwasanya suatu ketika Rasulullah SAW tengah  berbicara tentang  bulan Ramadhan, maka beliau bersabda: “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ru’yat (melihat) bulan sabit dan jangan pula kalian berbuka mengakhirinya sebelum Ru’yat (melihatnya) pula. Namun jika berawan (hingga kamu tak dapat melihatnya), maka  perkirakanlah bulan itu” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Mereka mengatakan bahwa kata “Faqduru Lahu” dalam Hadis ini  berarti “Perkirakanlah Hilal” yang berarti “Perkirakan dengan Hisab”.

Akan tetapi argumen kelompok kedua ini dipandang lemah karena:

Pertama, Hadis “Faqduru Lahu” bersifat Mujmal yang membutuhkan bayan (penjelasan). Sementara Hadis yang dibawakan kelompok pertama dengan terang menyebutkan bahwa apabila Ru’yat tidak berhasil, maka sempurnakan saja bulan Sya’ban (atau Ramadhan) sampai 30 hari. Sesuai Ka’idah yang berlaku di kalangan Ulama, manakala terdapat dalil Mujmal, maka ia membutuhkan Mubayyan, sehingga ketika yang Mubayyan telah ada, maka hapuslah kesamaran Mujmalnya. Demikianlah dalam masalah ini. Semula orang boleh berbeda pendapat tentang makna “faqduru lahu”. Tetapi ternyata ada penjelasan dalam Hadis lain bahwa Rasul menyatakan “Sempurnakan 30 hari”. Maka tidak ada arti lain bagi kalimat “Faqduru lahu” kecuali “Sempurnakan 30 hari” yang dalam istilah para Fuqaha disebut Istikmal.

Kedua, bahkan Hadis Ibnu Umar yang dipergunakan kelompok kedua pun memiliki redaksi yang lengkap yang secara jelas menyebutkan bahwa makna “Faqduru lahu” adalah “Sempurnakan 30 hari”. Al Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, masih bersumber dari Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ « الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا - ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِى الثَّالِثَةِ - فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلاَثِينَ ». (رواه مسلم)


Artinya: Bulan puasa itu seperti ini,  seperti ini, seperti ini – kemudian pada yang ketiga kalinya beliau menggenggam ibu jarinya – maka berpuasalah kamu dengan melihatnya dan berbukalah dengan melihatnya pula. Tetapi jika berawan (hingga kamu tidak dapat meru’yatnya), sempurnakanlah hitungannya 30 hari” (HR Muslim).

Sementara redaksi lain mengatakan:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ. (رواه البخاري و مسلم)

Artinya: “Pada dasarnya bulan itu berusia 29 malam (hari). Oleh karena itu janganlah kalian memulai puasa sebelum ru’yat (melihat) bulan itu. Tetapi jika berawan (hingga kamu tidak dapat meru’yatnya), sempurnakanlah hitungannya 30 hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).

 Abu Dawud meriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه ابو داود)

Artinya: Aisyah berkata: “Rasulullah SAW itu memperhatikan bulan Sya’ban melebihi bulan bulan lainnya, kemudian beliau berpuasa Ramadhan bila telah melihatnya. namun bila berawan beliau menyempurnakan bulan Sya’bannya 30 hari, setelah itu baru (esoknya) berpuasa” (HR Abu Dawud).

Setelah penjelasan ini maka tdak ada arti lain bagi “faqduru lahu” selain “sempurnakan 30 hari”.

Semoga Allah merahmati perwakilan Muhammadiyah dalam Sidang Itsbat Badan Hisab dan Ru’yat yang diselenggarakan Kementerian Agama hari Senin lalu. Ia mengatakan bahwa Hadis “faqduru lahu” adalah hadis Ibnu Umar sedangkan Hadis “30 hari” adalah Hadis Abu Hurairah. Padahal kedua bentuk redaksi itu diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Dalam kajian ilmu orang seperti ini tidak memenuhi Amanah Ilmiyah karena referensi yang dikutipnya tidak dapat dipertanggung jawabkan, sehingga fatwanya harus dimakzulkan. Lantas dari manakah ia mengatakan bahwa “Hadis yang mengertikan Faqduru lahu dengan 30 hari adalah bersumber dari Abu Hurairah?”.


Dari penjelasan di atas jelas, sudah tidak ada pintu bagi kaum Muslimin menggunakan Hisab. Kalaupun dipaksakan akan dipergunakan, maka itu hanya untuk ancer-ancer, namun keputusan akhir ada pada Ru’yat. Adalah sebuah kemaksiatan manakala ada orang yang telah mengumumkan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri sebelum tanggal 29 Sya’ban dan Ramadhan sebab telah terang-terangan menentang ketentuan Rasulullah SAW. Hasbunallah.

Demikian penjelasan Kiyai yang menjadi pengasuh PONDOK PESANTREN UMMUL QURA INI, tentang pedoman dan pijakan para ulama yang menetapkan sholat idul fitri pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2011.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar